Rabu, 30 November 2011

ENTONG GENDUT



Seorang jawara dari condet yang berjuang melawan penjajah dan dikenal memiliki prinsip yang tegas, sikap non kooperatif Entong terhadap kaum penjajah ini mencapai klimaks ketika kerajaan Belanda memintanya untuk menjadi raja muda di Condet namun ia menolaknya, sehingga terjadilah pertempuran di Condet , ia gugur ditembak kompeni ketika melakukan penyerbuan kerumah tuan tanah di Kampung Gedong, untuk mengenang jasanya namanya pernah diabadikan untuk nama jalan, namun dalam perkembangannya nama jalan tersebut diubah menjadi JL.Ayaman, nama tuan tanah yang pernah tinggal di daerah tersebut, semasa hidupnya Entong telah menunaikan Haji maka lengkapnya ia bernama Haji Entong gendut.
Pada masa itu tuan tanah bersama kompeni menguasai tanah-tanah rakyat dan rakyat diwajibkan membayar pajak, jika tidak mau membayar pajak maka dikenakan kerja paksa yaitu menggarap tanah sawah, menyaksikan kondisi tersebut maka entong gendut dengan para pemuda yang dipimpinnya melakukan perlawanan. Pada 5 april 1916 terjadilah perang di Landhius (vila Nova) yang dietmapati Lady Lollison dan para centengnya .
Menganai kematian Entong ada beberapa versi; 1) Entong gendut meninggal bukan di Kampung Gedong melainkan di Batu Ampar, saat melwati sungai ketika dikejar-kejar kompeni; 2).  Jenazah entong gendut diangkut oleh kompeni kemudiandi ceburkan ke laut, bahkan makamnya tidak diketahui rimbanya. Ada yang mengatakan di Kemang Jakarta selatan, namun ada juga yang mengatakan di Kampung Wadas Bogor. Entong meninggalkan tiga orang anak yaitu; Abdul Fikor, Aiyoso dan Aisyah.

KH.NOER ALIE BEKASI (1914-1992)


           Anak Betawi keturunan Kelender ini lebih dikenal sebagai KH.Noer Alie Bekasi, karena masa perjuangan dan basis pesantren yang dibangunnya di Ujungmalang yang kemudian berganti nama Ujung Harapan Bekasi “Pesantren At-Taqwa”, Noer Alie lahir pada tahun 1914 tanggal dan harinya tidak begitu diketahui, ia adalah anak dari pasangan Anwar bin Layu dan Maemunah binti Tarbin, ia lahir dengan bantuan  seorang  dukun  beranak,  Maklimah  namanya.  Kakenya - Layu   adalah  orang
pondok ungu, sedangkan nenenknya Nurhani-orang kampung sumur Kelender Jakarta Timur.
Bersama Jenderal Urip Sumoharjo mendirikan Markas Pusat Hizbullah–Sabililiah (MPHS), bersama sejumlah ulama mendirikan Badan Kerja sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang sekarang menjadi BKSPP Indonesia. 1935 belajar di Mekah. Noer Ali belajar mengaji pada guru Maksum dan guru Mughni Ujung malang ( 1925 ). Oleh guru Mughni Noer Ali di juluki santri kalong, karna jarak rumah dan tempat mengajinya cukup jauh. Pada tahun 1913 terjadi gerakan protes petani Bekasi dan tahun 1916 terjadi pemberontakan oleh petani condet yang di pimpin oleh Entong Tolo Gendut.
Beranjak dewasa Noer Ali merupakan murid kesayangan guru Mughni karena ketekunan dan kecerdasannya dalam menghafal Alfiah (pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab ). Karena kecerdasannya Noer Ali mampu menghafal lebih awal seribu kaidah bahasa Arab. Selain belajar ilmu Agama pada guru Maksum dan guru Mughni, Noer Ali juga memperdalam pengetahuan agamanya pada guru Marzuki di Kampung Muara, Klender, di sini Noer Ali mondok ( tinggal di tempat guru Marzuki mengajar ). Pada waktu senggang guru Marzuki dan Noer Ali melakukan pelajaran tambahan sambil berburu bajing. Tahun 1933 Noer Ali di angkat sebagai badal oleh guru Marzuki. Selain cerdas Noer Ali juga pandai bergaul  dan teman – temannya, inilah yang menjadi cikal bakal ulama – ulama terkenal di daerah JABOTABEK, ulama – ulama itu ialah : Abdullah Safi’ie, Abdurahman Shadri, Abu bakar, Mukhtar Thabrani, Usman, Abdul Bakir Marzuki, Hasbullah, Zayadi, Mahmud, Junaidi, Rohiman, Abdil Madjid dan Abdullah.
Pondok guru Marzuki sebelumnya di pimpin oleh guru Mirsodh ( 1910 ) yang tak lain adalah ayahnya. Tahun 1934 pondok guru Marzuki memiliki murid laki-laki sekitar 150 orang dan murid perempuan sekitar 50 orang. Setelah selesai belajar dari guru marzuki Noer Ali melanjutkan belajarnya pada guru Abdul Madjid di Pekojan. Setelah belajar dari guru Abdul Madjid Noer Ali, berfikir jika dia terus berada di Batavia pengetahuanya tidak akan berkembang,dengan berbekal uang pinjaman dari tuan tanah, Wat Siong, akhirnya Noe Ali melanjutkan pendidikanya ke Makkah. Sebelum ke Makkah guru Marzuki berpesan : “meskipun di Makkah belajar dengan banyak Syeikh. Tapi bagaimanapun kamu tidak boleh lupa untuk tetap belajar pada Syeikh Ali Al-Maliki” . Akhirnya Noer Ali berangkat dengan menaiiki kapal laut “ Telisce “ dengan membawa perbekalan seperti kopor, pakaian, beberapa buku, karung berisi beras dan ikan asin. Sesampainya di Jeddah jemaah yang berasal dari Indonesia di sambut oleh Syeikh Ali Betawi. Di Makkah Noer Ali mendapat kabar dari para jamaah Haji Indonesia bahwa guru Marzuki meninggal dunia tepatnya dua hari setelah Noer Ali dan kawanya Hasbullah meninggalkan Tanjung Priok. 1940 Nur Ali pulang dari Makkah, kepulangan Noer Ali dari Makkah di anggap “ duri dalam daging “ oleh tuan tanah dan aparatnya karena mereka menganggap bahwa Noer Ali kaum yang terpelajar, intelektual, ulama dan aktifis pergerakan   yang di anggap membahayakan kepentingan-kepentingan curang mereka.
Tahun 1940 Noer Ali mulai menjadi pengajar di masjid dekat rumahnya dan Yakub Gani sebagai badal dan “ tangan kanannya “. Pada tahun ini pula tepatnya pada bulan April 1940 ( usia Noer Ali saat itu 26 thn ) Noer Ali menikah dengan Siti Rahmah yang tak lain adalah anak dari guru Mughni. Pernikahan ini juga mempererat hubungan kedua kampung, yaitu kampung Ujungmalang dan kampung Kaliabang. Hubungan baik ini di tandai dengan di bangunya dua masjid di masing-masing kampung. Kehadiran Rahmah benar-benar membawa berkah, selain menjadi istri Noer Ali Rahmah juga membantu Noer Ali dalam hal mengajar murid-murid perempuannya.
Seiring  waktu pesantren Noer Ali semakin berkembang selain di ujungmalang murid-murid Noer Ali juga banyak yang berasal dari Babelan, Kebalen, Marunda dan Gabus. Tahun 1941 Noer Ali mulai mengembangkan pengajian menjadi pesantren. Saat itu murid Noer Ali berjumlah sekitar 300 orang. Kemudian murid-murid senior guru Zahruddin di angkat menjadi badal oleh Noer Ali, guru badal itu yaitu : Muhammad Arsyad, Muhammad Ma’ruf, Muhammad Anwar, Ahmad Dumyati, Ahmad Murthado dan Abu Bakar.

Kamis, 17 November 2011

Imam Syafi'i


KOLONEL IMAM SYAFI’I



Anak Betawi kelahiran daerah Bangka Jakarta Selatan ini lebih dikenal sebagai jagoan Senen yang disegani lantaran keberanian serta anak buahnya yang banyak dan loyal kepadanya, padahal ia berperawakan kecil namun memiliki kemampuan bela diri serta strategi penggalangan masa cukup baik, asal mula ia menguasai kawasan Senen lantaran ia mampu merobohkan jagoan Senen waktu itu, padahal Jagoan Senen waktu itu berperawakan tinggi dan gempal, saking ingin menjatuhkan lawannya sampai-sampai Imam Syafi’i musti naik keatas bale sayur untuk menjatuhkan lawannya, sejak kejatuhan jagoan Senen oleh Imam Syafi’i namanya makin melambung ke seantero Jakarta dan sekitarnya. Ia anggota Barisan Siliwangi (BS), yang membawahi Laskar Jakarta dll, ia juga gerilyawan yang sempat ke Madiun dan Ia juga sempat ikut memberantas PKI di Madiun 1948 semasa para gerilyawan Indonesia yang masuk ke dalam hutan maka Imam Syafiilah yang mensuplai logistik untuk para pejuang Indonesia yang memilih bertahan di dalam hutan.
Mengkoordinir jagoan-jagoan lingkungan Senen, Tanah Tinggi Pasar Rumput, Kramat, Tenabang, Glodok, Pembantu Keamanan Kampung  Laskar Jakarta yang kemudian digabung Corp Bambu Runcing (COBRA), amnesti dari Bung Karno, Bang Pi’i (Irwan Syafi’i) sebagai pengikutnya sering kumpul-kumpul di Rivoli dengan kendaran JEEP bersama dengan Kolonel Syafi’i dan kawan-kawannya , Copet diistilahkan dengan Dewan Kepiting oleh bang Pi’i karena banyak yang menuding ia sebagai Menteri Copet, padahal yang sebenarnya copet tidak mengenal Bang Pi’i sebagai copet,  setiap ada Pasar malam yang keamanannya dipegang oleh Bang Pi’i maka satupun tidak ada yang kecopetan
Berkat kecermatan Menjadi Menteri Keamanan Presiden di masa Bung Karno  , ketua Dewan Harian Daerah 1945 (DHD) Jakarta yang pertama.
Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kali Bata Jakarta Selatan  yang disambut oleh Effendi Yusuf.

- Azis Khafia-

MAHBUB DJUNAEDI

MAHBUB DJUNAEDI


                  Bang Abo, demikian adik-adik dan teman-teman NU memanggilnya, lahir pada kamis, 22 Juli 1933 atau 3 Rabbiul Awal 1352 H di Jakarta dari pasangan Muhammad Djunaedi dan Muchsinawati, neneknya bernama Siti Hasanah seorang guru ngaji keliling dan kakeknya Abdul Azis bin Sai’an, guru ngajinya bernama Wan Aba, beliau adalah Pengagum Bung Karno tulen. Ayahnya adalah seorang alim dan juga pendidikan kultur belanda, sehingga Abu mendapat didikan agama yang kuat sekaligus berfikir moderat, dalam bahasa  Mahbub digambarkan ’bersiul bagai marsose, bersikap bagai kiyai”, ibunya seorang yang agak keindo-indoan, lugu dan bagai kertas putih yang siap ditulis apa saja untuk suaminya, menurut Mahbub jika menggambarkan ibunya. Dalam berbagai kesempatan ia lebih enjoy disebut sebagai orang Indonesia ketimbang Betawi, meski begitu dari hatinya yang jujur tetap saja marwah Kebetawian muncul sontak diminta ketika orang-orang membahas tentang kebudayaan betawi, ketika ada seminar tentang Betawi disebuah kampus di Jakarta, dia sempat terbengong-bengong membaca salah satu tulisan nara sumber berbicara tentang Betawi yang menurut ditarik terlalu jauh dari subtansi betawi yang musti disuarakan, sehingga ia sempatkan menulis tentang apa itu Betawi menurut pemikirannya yang sederhana, katanya; 

Betawi adalah …..Betawi…. Ia berdiam di jakarta dan seputarnya. Ia orang kebanyakan. Ia bukan berasal dari dasar laut atau pucuk gunung. Ia punya satu kepala dan dua kaki. Ia termasuk kesatuan etnis Melayu. Ia bersih dari feodalisme. Ia tak merasa lebih, juga tak merasa kurang. Ia demokratis dan terbuka. Ia merasa berasal dari kaum Betawi pimpinan Husni Thamrin. Ia merasa pendukung Bung Karno ketika rapat IKADA tanggal 15 September 1945. Ia republican tulen. Dalam banyak hal mereka merasa tergusur dan kececeran dalam persaingan metropolitan. Dalam banyak hal tidak cerewet walau pemerintah daerahnya dipegang orang kampung lain”.

Tulisan khasnya yang sederhana dan mudah dicerna ini dengan tegas bicara apa itu Betawi. Yaitu orang melayu, bersikap terbuka, para pengikut MH.Thamrin dan pendukung NKRI. Karakternya yang kuat membuat ia hidup bersahaja, meskipun dikenal banyak orang karena kecerdasan dan pemikiran kritisnya ia tetap jujur ’saya bukan sarjana,  asli ataupun palsu” katanya polos, padahal ia adalah wartawan dan penerjemah yang handal, diantara buku best seler yang diterjemahkannya adalah ”100 tokoh berpengaruh di dunia karya Michaill Heart” yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya.
Selian Gus Dur, Mahbub Junaedi adalah salah satu tokoh NU ynag nyentrik, ia kritis tetapi tetap kocak, hal ini sebagai ciri khas anak Betawi.

-Azis Khafia-

MOHAMAD HOESNI THAMRIN


MOHAMAD HOESNI THAMRIN

         Kematiannya yang mendadak 11 Januari 1941 memang banyak menyimpan misteri, namun sebagai tokoh nasional yang memiliki sejarah perjuangan yang panjang tidak luput dari atensi banyak orang dan menjadi inspirasi bagi perjuangan kaum Betawi bahkan masyarakat Indonesia, ia lahir di tanah Betawi tepatnya di Sawah Besar pada 16 Februari 1894.  Dalam tubuh MH.Thamrin mengalir darah orang Inggris, karena kakaknya, Ort, orang Inggris yang menikah dengan Noeraini gadis Betawi. Ayahnya Thamrin Mohammad Thabrie pernah menjadi wedana Betawi tahun 1908. Pendidikannya diawali dengan memasuki sekolah Belanda yang menjadikannya sangat fasih berbahasa Belanda, meski dalam kesehariannya ia lebih bangga berbahasa Indonesia, pendidikan agama diperolehnya dari Habib Ali Al Habsy Kwitang, Mufti Betawi yang banyak menelorkan ulama di tanah Betawi. Pada usianya yang masih relatif muda yaitu sekitar 25 tahun ia sudah duduk di Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941) lalu Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941). Dari sinilah debut politiknya membela rakyat terus mewarnai Parlemen, dengan tekadnya yang kuat agar Indonesia berparleman dan Indonesia merdeka.

Pilihan Politik “Koo” yang opisisi
Pilihan politik MH. Thamrin adalah kooperatif, yaitu dengan bekerjasama dengan pemerintah Belanda, namun bukan berarti kerjasama yang tanpa reserve, orang memang kadang lebih menghargai tokoh-tokoh yang no koo dengan Belanda semisal Dwitunggal Soekarno-Hatta, namun sejarah juga mencatat bahwa tokoh kooperatif dengan non-kooperatif merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Bob Hering seorang Kanada berkebangsaan Belanda yang mengaku dirinya sebagai orang Betawi (Indo), ia turut menyaksikan iring-iringan pemakaman MH. Thamrin yang dipenuhi lautan manusia, mulai dari kediamannya di Sawah Besar sampai Karet Bivak penuh sesak lautan manusia, dalam disertasi PHd nya Bob Hering menulis bahwa Soekarno-Thamrin merupakan perpaduan perjuangan yang ideal antara tokoh non-kooperatif dengan tokoh kooperatif. Hal ini dapat dilihat ketika perjuangan tokoh-tokoh non koo seperti Soekarno-Hatta dan Syahrir mengalami kemandekan, MH. Thamrin tetap bergerak di Volksraad dengan semangat nasionalisnya.
MH. Thamrin memiliki peran ganda, selain secara aktif melontarkan ide-ide kebangsaan dan kerakyatan beliau juga menjadi penghubung antara tokoh yang non koo dengan pemerintah Belanda. Pada saat Bung Karno diadili ia hadir termasuk ketika Bung Karno diasingkan ke Ende. Sebenarnya Bung Karno secara diam-diam sering berkunjung ke rumah MH.Thamrin, begitu cerita Bu Detjee puteri angkat MH.Thamrin dalam salah satu ceritanya ketika saya bincang-bincang dengan beliau beberapa tahun lalu, namun Belanda yang memiliki banyak telinga dan mata mencium gelagat tersebut, karenanya Belanda menghukum MH.Thamrin dengan hukuman tahanan rumah setelah Bung Karno berkunjung ke rumahnya.

MH.Thamrin meski dibesarkan dari kalangan yang berada namun keberpihakannya terhadap rakyat miskin sangat kuat, atensinya terhadap perbaikan nasib rakyat miskin tertuang dalam protesnya terhadap pembangunan perumahan elite Menteng yang menafikan perbaikan kampung yang becek dan kumuh. Ia mempersoalkan harga beras, kopra, gula, karet dan semua komoditas yang bersentuhan dengan rakyat miskin. Perjuangannya di Volksraad memang kadang membuat gerah anggota lainnya karenanya ia sering tidak mendapat dukungan dari anggota dewan lainnya, namun komitmen kerakyatan tetap dipertahankan dengan etika politik yang tinggi.

“Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mau mendekati kemauan rakyatnya, inilah yang sepatutnya dijadikan dasar untuk memerintah”

Kalimat di atas merupakan salah satu pidato MH. Thamrin dihadapan Dewan sebagai kritik terhadap gaya pemerintahan Belanda yang sangat elitis dan jauh dari keadilan. Perjuangan MH.Thamrin bukan hanya berskala nasional tetapi juga dalam internasional, peringatannya terhadap fasisme Jepang membuat dirinya makin dikenal dalam pergaulan internasional, untaian kata-katanya yang santun di volksraad sangat melegenda dan mendapat respon beragam dari berbagai pihak lokal, nasional maupun internasional, salah satunya ketika bicara tentang keadilan di Volksraad adalah :

“Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum” (Handelingen Volksraad, 1930-1931).   Pada tahun 1941 saat ia semakin tajam dan terbuka berpihak kepada perjuangan rakyat Indonesia hal ini yang membuat Belanda semakin marah, dan puncak kemarahan Belanda memuncak ketika secara terbuka MH.Thamrin berpidato dalam bahasa Indonesia dan menganjurkan kepada anggota dewan agar menggunakan bahasa Indonesia dalam rapat-rapat dewan.

Sebagai tahanan rumah MH.Thamrin mulai sakit-sakitan dan mengalami gangguan ginjal, menurut Ibu Detjje kepada saya bahwa saya itu rumah beliau dijaga ketat oleh PID atas perintah pemerintah Belanda dan beberapa kali dalam kondisi sakit rumah beliau digeledah dengan tuduhan menerima surat dari Jepang, meski hanya fitnah dan tidak ditemukan dokumen tersebut, 10 Januari suhu badan Bang Ni demikian orang Betawi memanggil beliau, makin tinggi, namun Belanda belum mengizinkan dokter pribadinya untuk datang malah mendatangkan dokter Belanda, menjelang adzan subuh beliau meninggal dunia dan pada pagi harinya ribuan massa memadati kediamannya.

Pada saat pemakaman beliau keranda seperti berjalan dengan sendirinya, karena massa menyemut mulai dari Sawah Besar ,Tanah Abang sampai Karet, kurang lebih 20.000 orang mengantarnya. Tahun1960 Bung Karno menganugrahkan gelar “Dia orang yang keras kepala maka saya melatakan ini sebagai tanda perjuangganya”.

MH. Thamrin telah pergi 64 tahun yang lalu namun semangat juang dan cita-citanya belum selesai dan harus terus digelorakan, kini orang-orang Betawi yang tergabung dalam Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (BAMUS BETAWI) memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan cita-cita beliau yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial serta para wakil rakyat yang pro terhadap kerakyatan bukan pada jabatan, serta pemerintahan yang lebih open (peduli) terhadap nasib rakyat dan mau mendekati kemauan rakyat setiap saat bukan hanya saat PEMILU.

Untuk Betawi sekali lagi banyak bercerminlah bahwa kita diwariskan untuk jadi pejuang demokrasi, keadilan bukan menjadi kelompok massa yang ditakuti karena golok dan kejawaraanya, tetapi ditakuti dan disegani karena ketajaman ide-ide dan pikirannya.

- Azis Khafia-